Senin, 04 Januari 2010

HUKUM PERBANKAN DI INDONESIA

Apa yang perlu diketahui dari rahasia Bank?

Kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan rahasia Bank, sehingga kalau kita menjadi nasabah Bank, kita akan mengetahui secara pasti apa-apa yang boleh dan tidak boleh diberikan pada pihak luar oleh Bank. Dalam dunia modern sekarang ini, hampir setiap orang yang telah cukup umur berhubungan dengan Bank, entah sekedar menyimpan uang, ataupun mengirim uang melalui transfer, meminjam uang dan sebagainya.

Dasar Hukum ketentuan rahasia bank di Indonesia, mula-mula adalah Undang-undang no.7 tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi kemudian diubah dengan Undang-undang no.10/1998. Sesuai pasal 1 ayat 28 Undang-undang no.10/1998, berbunyi sebagai berikut:

Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.

Lingkup Rahasia Bank


Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul adalah: Apakah yang harus dirahasiakan ini hanya terbatas kepada keuangan nasabah penyimpan dana saja? Apakah juga menyangkut keadaan keuangan nasabah debitur? Apakah lingkup rahasia Bank hanya menyangkut pasiva (liabilities) bank berupa dana nasabah bank, ataukah juga meliputi aktiva (assets) bank berupa kredit Bank kepada nasabah. Apakah juga menyangkut penggunaan jasa-jasa bank yang lain, selain jasa penyimpanan dana dan jasa pemberian kredit?
Dari rumusan pasal 40 Undang-undang No.10/1998, secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup rahasia bank adalah bukan saja menyangkut simpanan nasabah, tetapi juga (identitas) nasabah penyimpan yang memiliki simpanan tersebut. Bahkan dalam rumusan pasal 40, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu daripada “Simpanannya”.

Di beberapa negara, lingkup dari rahasia bank tidak ditentukan hanya terbatas kepada keadaan keuangan nasabah, tetapi meliputi juga identitas nasabah yang bersangkutan.

Informasi mengenai mantan nasabah


Di dalam praktek perbankan atau praktek bisnis, sangat lazim seorang nasabah berpindah-pindah atau berganti-ganti bank, seperti juga adalah lazim seorang nasabah mempunyai simpanan pada beberapa bank. Timbul pertanyaan, apakah bank masih terikat terhadap kewajiban rahasia bank setelah nasabahnya tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan? Hal ini ternyata tidak diatur atau ditentukan oleh undang-undang, baik oleh undang-undang no.7/1992 maupun undang-undang no.10/1998.

Mengingat tujuan dari diadakannya ketentuan mengenai kewajiban rahasia bank, sebaiknya undang-undang perbankan Indonesia menentukan kewajiban rahasia bank tetap diberlakukan sekalipun nasabah yang bersangkutan telah tidak lagi menjadi nasabah bank yang bersangkutan.

Siapa yang berkewajiban memegang teguh rahasia Bank?


Menurut pasal 47 ayat (2) Undang-undang no.10/1998, yang berkewajiban memegang teguh rahasia bank adalah:


Anggota Dewan Komisaris Bank
Anggota Direksi Bank
Pegawai Bank
Pihak terafiliasi lainnya dari Bank



Siapakah yang dikategorikan sebagai “pegawai bank”


Menurut penjelasan pasal 47 ayat (2) yang dimaksudkan “pegawai bank” adalah “semua pejabat dan karyawan bank”. Lingkup sasaran tindak pidana rahasia bank menurut pasal tsb terlalu luas, karena berarti rahasia bank berlaku bagi siapa saja yang menjadi pegawai bank, sekalipun pegawai bank tersebut tidak mempunyai akses atau tak mempunyai hubungan sama sekali dengan nasabah penyimpan dan simpanannya, seperti: pramubakti, satpam, pengemudi, pegawai di unit yang mengurusi kendaraan dan masih banyak lagi.

Kewajiban merahasiakan bagi mantan pegawai bank


Seorang pegawai bank, ada kemungkinan tak selamanya menjadi pegawai bank tersebut, bisa karena telah tiba masa pensiun, keluar dan menjadi pegawai di perusahaan lain, meninggal dan sebagainya. Pada krisis moneter, banyak pegawai bank yang terkena PHK karena bank nya terkena likuidasi.

Pertanyaan yang muncul, apakah mantan pegawai bank masih tetap terkena oleh kewajiban memegang teguh rahasia bank yang menjadi kewajibannya sewaktu yang bersangkutan masih menjadi pegawai aktif di bank yang bersangkutan? Ternyata Undang-undang no.7/1992 maupun Undang-undang no.10/1998 tak mengaturnya.

Beberapa negara menentukan bahwa mantan pengurus dan pegawai bank terikat oleh kewajiban rahasia bank. Ada yang menentukan keterikatannya itu berakhir setelah beberapa tahun sejak saat yang bersangkutan berhenti sebagai pengurus atau pegawai bank, ada pula yang menentukan kewajiban tersebut melekat terus sampai seumur hidup.

Pengertian pihak terafiliasi lainnya


Sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat (22) Undang-undang no.10/1998, yang dimaksud pihak terafiliasi adalah:
anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain: akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia, turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.

Pengecualian atas kewajiban rahasia bank


Undang-undang no.10/1998 memberikan pengecualian dalam 7 (tujuh) hal. Pengecualian tersebut tidak bersifat limitatif, artinya di luar 7 (tujuh) hal yang telah dikecualikan itu tidak terdapat pengecualian yang lain. Pengecualian itu adalah:

* Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada pejabat pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan (pasal 41)

* Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, dapat diberikan pengecualian kepada Pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/PUPN atas izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 41A)

* Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan pengecualian kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 42)

* Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 43)

* Dalam rangka tukar menukar informasi di antara bank kepada bank lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia (pasal 44)

* Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari nasabah penyimpan secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 44A ayat 1)

* Atas permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dana yang telah meninggal dunia (pasal 44A ayat 2)



Sehubungan dengan pengecualian yang bersifat limitatif tersebut, apabila ada pihak-pihak lain (selain yang telah ditentukan sebagai pihak-pihak yang boleh memperoleh pengecualian) meminta penjelasan mengenai keadaan keuangan suatu nasabah dari suatu bank, jelas jawabannya adalah “Tidak Boleh”.

Sifat limitatif dari pengecualian itu bukan tidak dapat diperluas, asal perluasannya ditentukan oleh undang-undang. Apabila pengecualian di dalam undang-undang perlu ditambah, maka penambahan dapat dilakukan dengan:

Mengubah Undang-undang no.10/1998, atau Memberikan tambahannya dengan mencantumkannya dalam undang-undang tersendiri.

Dari ulasan di atas terlihat, bahwa Bank merupakan lembaga yang harus beroperasi secara prudent. Mengapa? Bank adalah bagian dari sistim keuangan dan sistim pembayaran suatu negara. Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi bank sangat penting, karena ambruknya bank dapat mengakibatkan domino effect, yaitu menular kepada bank-bank lain, yang akan mengganggu fungsi sistim keuangan dan sistim pembayaran negara yang bersangkutan.

Bank adalah lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung pada kepercayaan para nasabahnya, yang mempercayakan dana dan jasa-jasa lain, yang dilakukan nasabah melalui bank. Oleh karena itu bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang telah maupun yang akan menyimpan dananya, maupun yang telah atau akan menggunakan jasa-jasa bank lainnya, terpelihara dengan baik. Salah satu faktor untuk memelihara kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank, adalah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.

Jumat, 25 Desember 2009

SELAMAT TAHUN BARU HIJRIYAH 1431 H

KAMI SEGENAP DEWAN KOMISARIS, DEWAN DIREKSI DAN SELURUH KARYAWAN KARYAWATI PT. BPR "ARTHA JAYA MANDIRI " TASIKMALAYA MENGUCAPKAN SELAMAT TAHUN BARU HIJRIYAH 1431 H DAN SEMOGA DENGAN DATANGNYA TAHUN BARU HIJRIYAH, KITA SEMUA DALAM LINDUNGAN ALLOH SWT DAN USAHA KITA TERUS BERKEMBANG SERTA KEHIDUPAN KITA LEBIH BAIK DARI TAHUN KEMARIN. AMIIN.

Rabu, 23 Desember 2009

PENGAWASAN BPR PERLU DIPERKETAT

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) meminta Bank Indonesia memperketat pengawasan kinerja BPR menyusul meningkatnya jumlah penutupan lembaga itu, sehingga menyedot dana premi penjaminan sebagai ganti rugi.

Hingga pertengahan Agustus 2008, tercatat sebanyak 14 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang dibubarkan dan dan menyedot dana premi LPS sebesar Rp65 miliar untuk mengganti dana masyarakat yang ditaruh pada lembaga tersebut. Angka itu kemungkinan masih bertambah karena ada satu BPR yang masih diverifikasi.

Ketua Dewan Komisioner LPS Rudjito mencurigai adanya upaya sejumlah oknum untuk merugikan usahanya agar mendapatkan santunan ganti rugi dari lembaga penjaminan karena merasa telah membayarkan premi.

“Untuk itu perlu pengawasan secara ketat dari BI mengenai kinerja BPR, agar tidak gulung tikar dan merugikan masyarakat,”ujarnya di sela-sela seminar Kenaikan Suku Bunga di Tengah Ekses Likuiditas di Jakarta, kemarin.

Di samping itu, paparnya, bank sentral juga perlu memperluas proses sertifikasi BPR agar lembaga tersebut lebih kredibel dan berkualitas dalam melakukan transaksi bisnis, sehingga bisa berdaya saing dengan industri keuangan lainnya.
Menurut dia, tidak semua BPR berperilaku menyimpang. Hal itu, lanjutnya, hanya dilakukan segelintir oknum yang ingin mendapatkan keuntungan sesaat. ”Justru itu nanti akan merugikan semua lembaga BPR, karena sebenarnya itu dilakukan beberapa oknum saja.”

Dia melihat kondisi BPR saat ini masih sangat rentan karena oleh persoalan sumber daya manusia. ”Kalau kami lihat di BPR-BPR tadi kegagalan lebih disebabkan moral hazard,”katanya.

Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga Juni 2008 jumlah BPR sebanyak 1.790 unit atau berkurang 21 unit dibandingkan dengan bulan sebelumnya akibat konsolidasi yang dilakukan melalui merger. Selain itu, ada juga yang gulung tikar.

Maraknya BPR yang gulung tikar dimulai pada akhir tahun lalu. Pada kuartal pertama tahun ini, LPS memverifikasi sembilan BPR yang gulung tikar dan mengucurkan dana sebesar Rp45,91 miliar untuk menutupi dana masyarakat.
Ganti rugi meningkat
Namun, pada kuartal kedua jumlah itu bertambah menjadi 14 BPR, sehingga dana ganti rugi yang harus dikucurkan LPS meningkat menjadi Rp65 miliar.

”Soalnya terkadang mereka [BPR] memberikan bunga tabungan melebihi bunga penjaminan, sehingga tidak bisa diganti. Saat ini sekitar 10%-15% yang tidak kami ganti dari 14 BPR yang gagal bayar itu, karena bunga dananya lebih besar dari penjaminan LPS,” paparnya.

BPR masuk dalam lembaga bank yang harus menyetorkan premi sebesar 0,2% per tahun sebagai penjaminan apabila lembaga tersebut gulung tikar. Hingga paruh pertama tahun ini pengumpulan premi dari LPS lebih dari Rp7 triliun.

MENYELAMATKAN BPR

Hingga tahun 2008 BI telah menutup 13 Bank Perkreditan Rakyat, BPR. Ini sungguh angka yang tinggi untuk ukuran bisnis perbankan. Ini sungguh angka yang mencemaskan rasa keamanan publik. Untuk menyebut angka kecelakaan pesawat sabagai tinggi, tak perlu harus menungu ada pesawat jatuh setiap hari. Bisnis penerbangan sama dengan bisnis keuangan, keduanya adalah jenis bisnis yang mutlak harus presisi. Tingkat keselamatannya harus demikian tinggi. Tak ada orang naik pesawat yang ingin jatuh. Tak ada orang menabung yang ingin bangkrut. Untuk itulah mereka pergi ke bank, bukan ke bursa saham atau mengikuti arisan berantai.

Bank Perkreditan Rakyat... mari kita melihat kedudukan bank ini. Inilah lembaga keuangan yang amat penting kedudukannya bagi sektor riil. Mudah, murah, cepat, itulah keunggulannya. Tak terkira peran bank ini bagi mobilitas ekonomi rakyat. Kemudahannya, kemurahanya, kecepatannya itulah keunggulan BPR. Tetapi apa-apa yang disebut unggul itu, akan menjadi percuma jika BPR akhirnya menjadi duplikator kesalahan para patron mereka, bank-bank besar yang nakal itu.

Kita ingat, deregulasi sekitar dua dedake lalu, telah menimbulkan euforia yang dramatik. Bank-bank bermunculan dengan begitu mencengangkan. Mudahnya mendirikan bank semudah parta-partai membangun posko-poskonya. Semudah itu berdirinya, semudah itu pula kejatuhannya. Dan sumber kejatuhan itu satu saja ternyata: moralitas. Ada bank yan didirikan cuma untuk menggangsir uang pemerintah, menyalurkannya untuk perusahaan pribadi pendirinya, lalu memacetkannya. Setelah macet, dengan gunungan hutang, para pengemplang itu tinggal hengkang keluar negeri. Malah ada pula yang hingga masuk ke liang lahat sambil berstatus buron dan pengemplang.

Ada jenis BPR, dalam ukuran yang berbeda, sering meniru-niru kesalahan ini. Ada direktur BPR yang mencairkan deposito nasabahnya sendiri. Ada BPR yang harus ditutup karena penggelapan uang nasbah. Ada BPR yang memberi bunga terlalu tinggi sehingga menjadi masalah di kemudian hari. Persoalannya boleh bermacam-macam, tetapi satu saja sebetulnya pokoknya: ketidak jujuran dalam mengelola mandat-mandat publik.

Tetapi para banker memang tak pelrlu menjadi orang-orang suci, Mereka boleh menjadi pengusaha biasa yang jasanya berhak memperoleh keuntungan sewajarnya. Karena itulah ada Bank Indonesia sebagai pengawasnya, dan ada pula lembaga penjamin dana-dana publik ini. Jadi sesungguhnya, jika pengawasan itu berjalan, tak perlu ada BPR yang tutup, karena penyimpangan itu, tak perlu menjadi besar dan berkembang menjadi kehancuran. Jadi, jika di suatu negara masih banyak lembaga-lembaga pengemban mandat publik yang hancur, pengawasan pasti tidak sedang berjalan seperti yang digariskan.

MEMASYARAKATKAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Memasyarakatkan Lembaga Keuangan Mikro
(Oleh: A. Luluk Widyawan, Pr)

Kemiskinan dan pengangguran masih banyak dijumpai di wilayah negara Indonesia. Harian Kompas 15/04/2006, melaporkan data tentang kemiskinan berupa pengangguran terbuka dan penduduk miskin sebagai berikut:

Tahun 2001
Pengangguran terbuka: 5,8 juta orang
Penduduk miskin: 38,7 juta orang

Tahun 2002
Pengangguran terbuka: 8 juta orang
Penduduk miskin: 37,9 juta orang

Tahun 2003
Pengangguran terbuka: 9,1 juta orang
Penduduk miskin: 38,4 juta orang

Tahun 2004
Pengangguran terbuka: 10,3 juta orang
Penduduk miskin: 37,3 juta orang



Fakta tentang kemiskinan dan pengangguran menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan yang besar akan jasa keuangan (simpan-pinjam) di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah/rumah tangga. Karena itu, ada kebutuhan untuk mempromosikan dan menggiatkan suatu program yaitu sistem simpan-pinjam bagi masyarakat Indonesia, khususnya bekerja sama dengan lembaga dan organisasi yang benar-benar bertujuan untuk mencapai kinerja yang tinggi. Bukan hanya itu, juga lembaga yang mampu menyajikan pelayanan yang berkualitas bagi rumah tangga dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Dalam peta tentang keuangan yang beredar di pedesaan di Indonesia, diketahui bahwa sumber keuangan rumah tangga berasal dari lima asal. Ialah: arisan yang memberikan berupa kredit jangka pendek yang bersifat produktif dan konsumtif, kantor cabang bank pemerintah yang mengucurkan kredit jangka panjang dan pendek namun bersifat produktif, lembaga keungan mikro yang memberikan kredit jangka panjang dan pendek yang bersifat produktif, rentenir, pedagang, teman atau kerabat yang memberikan kredit jangka pendek baik produktif atau konsumtif serta dari tabungan pribadi.

Di antara sumber keuangan rumah tangga masyarakat, yang diminati untuk dijadikan sumber keuangan ialah Lembaga Perbankan, baik BPR maupun BRI Unit dengan jumlah peminjam sebanyak 5.428.637. Sementara peminjam yang meminjam dari Lembaga Non Perbankan, baik dari Koperasi Simpan Pinjam, Unit Simpan Pinjam, Pegadaian, Credit Union, Lembaga Keungan Masyarakat, Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan jsutru jauh lebih besar, yakni sebanyak 10.394.713 peminjam. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia lebih tertarik mendapatkan pinjaman dari Lembaga keungan non formal.

Lembaga keungan non formal, pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda dengan lembaga keuangan formal layaknya Perbankan. Jika peminjam mendatangi lembaga keuangan non formal, jelas modal sukar diperoleh dan organisasinya sifatnya layaknya sebuah keluarga. Selain itu, permodalannya bukan dari lembaga keuangan resmi, bantuan negara tidak ada, hubungan dengan masyarakat sifatnya saling menguntungkan dan berdasar sifat saling percaya.
Lain halnya jika peminjam mendatangi lembaga keuangan formal, yang jelas modalnya mudah diperoleh, organisasinya birokratis, permodalannya dari lembaga keuangan resmi, didukung oleh negara untuk kelangsungan usaha, serta hubungan dengan masyarakatnya satu arah untuk kepentingan sektor formal. Namun fakta berbicara bahwa masyarakat lebih banyak yang berminat mendapatkan sumber keuangan dari Lembaga keuangan non formal.


Lembaga Keuangan Mikro

Lembaga keuangan mikro ada untuk menolong masyarakat miskin / usaha kecil sehingga mereka mampu menolong dirinya sendiri. Dalam kerangka itu, keuangan mikro dimaksudkan memberikan dukungan yang akan memberdayakan berbagai kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin / pengusaha kecil. Jadi keuangan mikro adalah penyediaan jasa-jasa keuangan kepada anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Umumnya mereka adalah orang yang tidak memiliki tanah sebagai aset, petani marginal atau penduduk kota yang bekerja di sektor informal. Jasa-jasa keuangan mikro dapat mencakup kegiatan simpan pinjam dan jasa-jasa lain seperti asuransi, pengiriman uang dan hak tanggungan atas tanah, pelayanan kesehatan dan masalah gender.

Cakupan dari keuangan mikro jelas terdapat dipedesaan dan kota besar di lapisan masyarakat pekerja sektor informal. Dari segi jumlah, orangnya lebih sedikit. Mereka umumnya adalah penduduk desa dengan beragam kegiatan mulai dari perdagangan, pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan dan industri rumah tangga.

Dengan demikian, fungsi keuangan mikro pertama sebagai sarana memerangi kemiskinan (poverty elevation). Kedua, membangun manusia. Pembangunan yang tidak menyertai unsure manusia atau pembangunan sosial masyarakat akan senantiasa berakhir dengan dampak-dampak sosial yang harganya mungkin lebih mahal daripada pembangunan itu sendiri.

Sesuai dengan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat, kredit mikro memiliki esensi yang sangat berbeda dengan kredit komersil, yaitu bahwa kredit mikro harus merupakan bagian dari suatu proses pemupukan dana jangka panjang yang disebut modal, bagi si peminjam. Prinsip ini mutlak menjadi landasan kebijakan pinjaman yang harus dikembangkan oleh setiap lembaga pembiayaan mikro. Sedangkan kemampuan pemupukan dana jangka panjang (capital formation) terganting pada kemampuan seseorang dalam mengelola dana pinjaman untuk usaha-usaha produktif, sehingga hasilnya bukan saja mampu mengembalikan pokok pinjaman dan bunga serta biaya-biaya lain, tapi si peminjam memiliki surplus yang akan menambah modal atau dana yang telah ia miliki.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa usaha kecil dan mikro menghadapi sejumlah persoalan (internal dan eksternal), dimana keterbatasan modal menjadi salah satu persoalan. Di sisi lain, penelitian ini juga menggambarkan bahwa tidak seluruh kebutuhan permodalan usaha kecil dan mikro dapat disediakan oleh perbankan. Karena perbankan hanya dapat menyediakan sekitar 17-18 % dari kebutuhan usaha kecil dan mikro. Dengan kata lain, hampir sebagian besar kebutuhan modal usaha kecil dan mikro diperoleh dari sumber non perbankan, dari teman, keluarga, dan lembaga keuangan non bank. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya aksesibilitas usaha kecil dan mikro kepada kredit perbankan, bukan karena tingginya suku bunga, tetapi lebih dominant disebabkan karena sistem dan prosedur perbankan serta pengertian penyediaan dana, yang sering menjadi pusat perdebatan.

Pelaku usaha kecil dan mikro sebenarnya sudah memiliki jaminan hukum. Menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, dijelaskan bahwa usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan memenuhi criteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur, yaitu:

- memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000
- memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000
- milik warga negara Indonesia
- berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tak langsung dengan usaha menengah atau besar

Oleh karena itu, lembaga keuangan mikro dengan sendirinya menuntut pelakunya menjalankan manajemen secara professional, melakukan pendekatan dengan pengelolaan stakeholder, dikelola dengan prinsip usaha modern, dan tak ketinggalan mengacu pada prioritas pembangunan di daerah masing-masing, baik dari sisi wilayah, sektor maupun manusianya. Dengan prinsip utama, dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.


Memasyarakatkan Lembaga Keuangan Mikro

Salah satu pemberdayaan masyarakat dalam konteks kekuatan ekonomi nasional adalah dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan. Salah satu instrument strategis untuk memberdayakan usaha kecil adalah melalui keuangan mikro.

Akan tetapi, keuangan mikro memiliki beberapa kelemahan ialah mata rantai usaha tergantung dengan karakteristik pengusaha kecil, Beberapa kelemahan dan kegagalan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

- kurang mampu menjalankan usaha
- lemah dalam pengelolaan
- cara hidup yang konsumtif
- cepat merasa puas dengan hasil yang diacapai
- sangat tergantung kepada fasilitas
- rendahnya profesionalisme
- kesadaran akan kualitas produksi masih rendah
- bersifat trial dan error
- masih percaya pada hal-hal yang bersifat tahyul


Dengan kondisi demikian, pada umumnya usaha kecil dan mikro membutuhkan dukungan banyak pihak. Dukungan tersebut sangat diharapkan berasal dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga keuangan, lembaga akademi maupun lembaga donor.

Dalam pengembangan keuangan mikro, diperlukan strategi-stategi dasar agar dapat berjalan sesuai dengan misinya. Beberapa statergi dasar yang mendesak untuk dilakukan, terutama oleh pemerinta ialah:

- memanfaatkan dan memantapkan lembaga keuangan mikro yang sudah ada, menumbuhkan lembaga keuangan mikro baru serta meingkatkan kemandirian dan profesionalisme lembaga keuangan mikro
- meningkatkan kesadara masyarakat tentang keuangan mikro ke seluruh segmentasi sasaran
- mengembangkan jaringan antar lembaga keuangan mikro dengan pihak terkait
-mengupayakan kemudahan bagi masyarakat miskin dalam mengakses modal dan pendampingan usaha ekonomi produktif.


Berhadapan dengan situasi ekonomi terpuruk karena banyaknya pengangguran dan penduduk miskin, lembaga keuangan mikro memiliki peran penting sebagai katalisator perbaikan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan lembaga keuangan mikro niscaya memberdayakan masyarakat. Karena lewat lembaga keuangan mikro, terwujudlah tujuan pengembangan ekonomi yaitu perbaikan dan kesejahteraan manusia yang sering disebut sebagai pembangunan manusia atau pembangunan sosial, selain pertumbuhan ekonomi pada prioritas berikutnya (Ms. Nancy Birdsall, World Bank, 1993). Lembaga keuangan mikro dapat menjadi tempat penampung dan penyalur dana dan modal, membawa efek penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapat, pemercepat pembangunan tingkat desa, penggerak bisnis dan menyelamatkan usaha / kegiatan yang dilanda krisis.