Rabu, 23 Desember 2009

MENYELAMATKAN BPR

Hingga tahun 2008 BI telah menutup 13 Bank Perkreditan Rakyat, BPR. Ini sungguh angka yang tinggi untuk ukuran bisnis perbankan. Ini sungguh angka yang mencemaskan rasa keamanan publik. Untuk menyebut angka kecelakaan pesawat sabagai tinggi, tak perlu harus menungu ada pesawat jatuh setiap hari. Bisnis penerbangan sama dengan bisnis keuangan, keduanya adalah jenis bisnis yang mutlak harus presisi. Tingkat keselamatannya harus demikian tinggi. Tak ada orang naik pesawat yang ingin jatuh. Tak ada orang menabung yang ingin bangkrut. Untuk itulah mereka pergi ke bank, bukan ke bursa saham atau mengikuti arisan berantai.

Bank Perkreditan Rakyat... mari kita melihat kedudukan bank ini. Inilah lembaga keuangan yang amat penting kedudukannya bagi sektor riil. Mudah, murah, cepat, itulah keunggulannya. Tak terkira peran bank ini bagi mobilitas ekonomi rakyat. Kemudahannya, kemurahanya, kecepatannya itulah keunggulan BPR. Tetapi apa-apa yang disebut unggul itu, akan menjadi percuma jika BPR akhirnya menjadi duplikator kesalahan para patron mereka, bank-bank besar yang nakal itu.

Kita ingat, deregulasi sekitar dua dedake lalu, telah menimbulkan euforia yang dramatik. Bank-bank bermunculan dengan begitu mencengangkan. Mudahnya mendirikan bank semudah parta-partai membangun posko-poskonya. Semudah itu berdirinya, semudah itu pula kejatuhannya. Dan sumber kejatuhan itu satu saja ternyata: moralitas. Ada bank yan didirikan cuma untuk menggangsir uang pemerintah, menyalurkannya untuk perusahaan pribadi pendirinya, lalu memacetkannya. Setelah macet, dengan gunungan hutang, para pengemplang itu tinggal hengkang keluar negeri. Malah ada pula yang hingga masuk ke liang lahat sambil berstatus buron dan pengemplang.

Ada jenis BPR, dalam ukuran yang berbeda, sering meniru-niru kesalahan ini. Ada direktur BPR yang mencairkan deposito nasabahnya sendiri. Ada BPR yang harus ditutup karena penggelapan uang nasbah. Ada BPR yang memberi bunga terlalu tinggi sehingga menjadi masalah di kemudian hari. Persoalannya boleh bermacam-macam, tetapi satu saja sebetulnya pokoknya: ketidak jujuran dalam mengelola mandat-mandat publik.

Tetapi para banker memang tak pelrlu menjadi orang-orang suci, Mereka boleh menjadi pengusaha biasa yang jasanya berhak memperoleh keuntungan sewajarnya. Karena itulah ada Bank Indonesia sebagai pengawasnya, dan ada pula lembaga penjamin dana-dana publik ini. Jadi sesungguhnya, jika pengawasan itu berjalan, tak perlu ada BPR yang tutup, karena penyimpangan itu, tak perlu menjadi besar dan berkembang menjadi kehancuran. Jadi, jika di suatu negara masih banyak lembaga-lembaga pengemban mandat publik yang hancur, pengawasan pasti tidak sedang berjalan seperti yang digariskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar